MAKALAH
Perubahan Pembentukan Konstitusi
atau
UUD 1945
Dibuat oleh
1. ……………………………
2. . ……………………………
3. ……………………………
4. ……………………………
5. ……………………………
6. ……………………………
7. ……………………………
8. ……………………………
9. ……………………………
10.
……………………………
SMK YASIDIK PARAKANSALAK
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong hamba-Nya
menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin
penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat mengetahui beberapa perubahan pembentukan konstitusi
atau UUD 1945 yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dan referensi dari
berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau UUD 1945” dan
sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati dan perlu
mendapat dukungan dari semua pihak yang peduli terhadap dunia hukum.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Terima
kasih.
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman Judul
………………………………………………………………..
Kata Pengantar
………………………………………………………………
Daftar Isi
……………………………………………………………………..
BAB I. PENDAHULUAN
…………………………………………………..
1.
Latar Belakang ……………………………………………..
2.
Rumusan Masalah ………………………………………….
3.
Tujuan dan Manfaat ………………………………………..
BAB II. PEMBAHASAN
……………………………………….……………
1.
Sejarah Lahir Konstitusi
……………………………………
2.
Perkembangan Konstitusi di Indonesia
……………………..
3.
Undang-Undang Dasar 1945
……………………………….
4.
Konstitusi RIS 1949 ……………………………………….
5.
UUD Sementara 1950 ………………………………………
6.
Perubahan UUD 1945 ……………………………..………
BAB III. PENUTUP
…………………………………………….………………
- Kesimpulan ………………………………………………………………….
- Saran ………………………………………………………………………..
- Daftar Pustaka ……………………..………………………………….
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sudah lebih dari setengah abad merayakan hari
kemerdekaannya terhitung dari tanggal 17 Agustus 1945. Perayaan itu memberikan
gambaran dariproses lahirnya konstitusi tertulis Negara Indonesia yaitu UUD
1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 ditetapkan sebagai
Konstitusi Republik Indonesia. Konstitusi tersebut telah dijadikan landasan
berjalannya sistem ketatanegaraan negara ini. Berbagai isi/muatan yang
terkandung dari awal pembentukan hingga perubahan yang keempat kalinya telah
mengalami perubahan pula.
Fenomena perubahan yang terjadi mengingat pula bahwa Indonesia merupakan negara
yang berdaulat terhadap hukum. Hukum yang selalu mengikuti perkembangan zaman
telah memberikan sumbangsih atas perubahan-perubahan yang terjadi pada materi
muatan UUD tersebut.
Undang-Undang Dasar setelah perubahan memberikan nuansa yang
sangat berbeda pada tataran muatan yang terkandung di dalamnya. Banyak muatan
yang secara sosial, hukum, politik dan ekonomi mengalami perubahan yang
mendasar. Setiap perubahan yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari peran Paham
Konstitusi (Constitutional Doctrine) yang berkembang pada saat Republik
Indonesia sebagai negara hukum, memproses perubahan konstitusi tersebut.
Paham konstitusionalisme dipahami sebagai upaya pembatasan dan pengaturan
kekuasaan negara yang memahaminya. Pada tulisan ini penulis ingin menyampaikan
materi muatan konstitusi seperti apa yang terjadi setelah dirubahnya UUD 1945
dan latar belakang pemikiran yang seperti apa pula hingga masyarakat Indonesia
berkeinginan mengubah UUD 1945.
Penulis juga akan menyempatkan untuk mengingatkan setiap perubahan yang terjadi
harus mencerminkan sikap warga negara yang menjunjung tinggi kadaulatan hukum
sebagai pelaksanaan ketatanegaraan dan kehidupan sehari-hari. Sehingga
muatan-muatan yang terkandung di dalam konstitusi kita dapat langsung dirasakan
bagi masyarakat Indonesia agar tercipta keadilan sosial bagi seluruhnya. Dari
beberapa materi muatan seperti pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia, Susunan
Ketatanegaraan, Pembagian dan Batasan Lembaga Negara yang bersifat fundamental
akan dibahas secara mendalam pada tulisan ini.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas, maka dapat dirumusukan suatu permasalahan, yaitu “bagaimanakah proses
perubahan pembentukan konstitusi atau UUD 1945 di Indonesia?”
3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau
UUD 1945” ini adalah untuk mengetahui proses perubahan pembentukan konstitusi
atau UUD 1945 di Indonesia mulai dari awal pembentukan hingga perubahan yang
keempat kalinya telah mengalami perubahan pula.
Manfaat dalam makalah “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau UUD 1945” ini
yaitu dapat mengetahui proses perubahan pembentukan konstitusi atau UUD 1945 di
Indonesia mulai dari awal pembentukan hingga perubahan yang keempat kalinya
telah mengalami perubahan pula.
BAB
II
PEMBAHASAN
Sebagai negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi
yang dikenal dengan undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar
1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat panjang
hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan
di Indonesia.
1.
Sejarah Lahir Konstitusi
Dalam
sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni
1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang
beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil
ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3
orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda
kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan
nomor 23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian,
2001).
Badan
ini kemudian menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi
Indonesia merdeka yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945). Para tokoh perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman
Widiodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo,
Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul
Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas
(Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr.
Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul
WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan (Sumatra).
Latar
belakang terbentuknya konstitusi (UUD 1945) bermula dari janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut
antara lain berisi “Sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan Asia Timur
Raya, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari
kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan
angkatan perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri
kekuasaan penjajahan Belanda”.
Sejak
saat itu Dai Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda
serta membimbing bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang,
sehingga diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai
bangsa Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah
yang selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya.
Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan
leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan
tiba.
Setelah
kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia
menjadi sebuah negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari
setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan
sebagai berikut:
- Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.
- Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
- Memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden. Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi komite Nasional.
- Dengan terpilihnya presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
- Rakyat, yaitu bangsa Indonesia.
- Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau besar dan kecil.
- Kedaulatan yaitu sejak mengucap proklamasi kemerdekaan Indonesia.
- Pemerintah yaitu sejak terpilihnya presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara.
Tujuan
negara yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Bentuk negara yaitu Negara Kesatuan.
2.
Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Konstitusi
sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara
dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal
konstitusi terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lazim
disebut Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang, dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta
perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang
tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara
ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi
manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen,
baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna
Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi
manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam
berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka
Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya
negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki
konstitusi tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam
praktik penyelenggaraan negara juga diakui sebagai hukum dasar, dan
tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas. Karena itu,
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma
hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam
praktik penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian
konstitusi atau hukum dasar (Droit Constitusionnel) suatu negara.
Dalam
perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati
posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi
kenegaraan. Kajian tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara
modern saat ini yang pada umumnya menyatakan diri sebagai negara
konstitusional, baik demokrasi konstitusional maupun monarki konstitusional.
Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar
kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu
negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat
peradaban suatu bangsa.
Suatu
konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktik
penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah
Undang-Undang Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (Geistichenh Enter Grund)
yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis
perumusan yuridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan
seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat
dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang
Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis,
sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.
Disamping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (Frame of
Reference) dan medan pengalaman (Ield of Experience) dengan muatan
kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan
Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktik di kemudian hari.
Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini,
dan pada masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak
menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar,
diperlukan pula adanya pokok-pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap
perumusan pasal-pasal undang-undang dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar.
3.
Undang-Undang Dasar 1945
UUD
1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi negara Indonesia dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945,
yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini
pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang
yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa
Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah
Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji
Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya
melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan
pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar sebagai
dasar untuk mendirikan negara Indonesia merdeka.
Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini
beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta
Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua.
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10
Juli sampai dengan 17 Juli 1945.
Dalam
kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung
tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini
terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal ‘philosoische
grondslag‘, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara
Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan
pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli
sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam
masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota
terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk
Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri
atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim,
dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan
tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang
Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan
tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs.
Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah
mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah
rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
beberapa anggota masih ingin mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini
terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi
rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Namun demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945.
UUD
1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan
kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat
saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik
Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut
istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet‘ atau
Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila
negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini
dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD
1945 yang berbunyi:
“Dalam
enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini
bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya
ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara
Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI
menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali
pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun
menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
4.
Konstitusi RIS 1949
Setelah
Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan
kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari
tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia. Namun, usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya
tidak mudah karena mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang
kemerdekaan Indonesia. Karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu
domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil
di berbagai wilayah nusantara, seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan
negara-negara yang terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik
Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat
dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan
dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi
II pada tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan
terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23
Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja
Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konperensi ini dihadiri
oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal
Overleg‘ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konferensi
Meja Bundar (KMB) tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
- Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
- Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu:
- Piagam penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS;
- Status uni; dan
- Persetujuan perpindahan.
- Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah
konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik
Indonesia dan delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr.
Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut.
Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan
sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat
sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resma
mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember
1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember
1949.
Dengan
berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun
1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara
federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi
RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah
Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam
persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949,
tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap
berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal
ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa
berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950
resmi diberlakukan.
Konstitusi
RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun
1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.
Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah
representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan
ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini,
jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
5.
UUD Sementara 1950
Bentuk
negara federal nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis,
berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan
bentuk negara federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup
kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan
penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi,
sebagai negara yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan
tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk
negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk
negara federal.
Karena
itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka
konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara
Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan
diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah
Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata
sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik
Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia.
Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal
19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai
kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945.
Dalam
rangka persiapan ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah
Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun
rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu
kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12
Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia
Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini
diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu dengan
ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga
isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia
Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah
baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti
halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini
terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu.
Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan
pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini
diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi
dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950;
Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus
1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan
terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10
November 1956.
Majelis
Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk
menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa
Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik
Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang
dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan
karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden
untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan
Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak
tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang
kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya
Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai
tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Prof. Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit
Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan
prinsip ‘staatsnoodrecht‘.
Menurut
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip ‘staatsnoodrecht‘ itu pada
pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR
No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian
MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang
dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi
bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu
keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas
dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD
1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap
sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin
lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi
yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian
selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang
irrasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan
bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas
merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau
diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD
1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru
selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan.
Siklus
kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam
kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional.
Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
6.
Perubahan UUD 1945
Perubahan
UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan
reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian
Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem
hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai
hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan
perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa
reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani
yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945 yaitu:
1.
Sepakat untuk tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945,
2.
Sepakat untuk mempertahankan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.
Sepakat untuk mempertahankan sistem
presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul
memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil),
4.
Sepakat untuk memindahkan hal-hal
normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945, dan
5.
Sepakat untuk menempuh cara adendum
dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan
UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda
Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi
Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan
Komisi Konstitusi.
Perubahan
Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada
tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan
itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan
dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara
substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun
tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan
Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara
tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan
Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut
sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau
menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh
ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9
pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan
Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut
seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir
ketentuan dasar.
Gelombang
perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan
pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada
tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua
ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar
dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara
dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang
mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah
itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001
yang berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9
November 2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan
Ketiga ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan
yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998
sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI
tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa:
1.
Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua,
ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta
dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat;
2.
Penambahan bagian akhir pada
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan
kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang
Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan”;
3.
Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat
(3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A;
4.
Penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara;
5.
Pengubahan dan/atau penambahan Pasal
2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16;
Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2); Bab XIV,
Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan
Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara
keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu
pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31
butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam
rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar
berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945
pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II
Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan,
“Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD
1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945,
tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu
dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama
lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di
dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum
dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik sutau
kesimpulan bahwa sesungguhnya materi muatan yang terkandung pada Konstitusi
Indonesia (UUD 1945) mencakup hal-hal mengenai politik, ekonomi, hukum dan HAM.
Diaturnya hampir semua elemen kehidupan manusia ini memberikan konsekuensi
terhadap pelaksanaan ketatanegaraan yang harus berdasarkan kepada kepentingan
rakyat banyak atau tujuan negara itu sendiri. Mengenai ketentuan ekonomi pada
konstitusi Indonesia sudah mengalami perbaikan yang sangat berarti, jika
dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum diamandemen. Harus juga dipahami prinsip
perekonomian seperti halnya, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan, kemajuan, kesatuan ekonomi
nasional . Seluruhnya harus dijadikan pedoman pelaksanaan perekonomian di
Indonesia.
Terhadap ketentuan sosial yang terkadung tidak cukup mensejahterakan rakyat,
tetapi perlu juga diperhatikan demi kepentingan bersama untuk mencerdaskan
bangsa. Beberapa alasan diamandemennya UUD 1945 menjadi koreksi bagi pemerintah
atau para pelaksana perubahan UUD 1945 untuk secara langsung melibatkan
kepentingan rakyat dan aspirasi rakyat.
2. Saran
Saran yang dapat diajukan dalam makalah “Perubahan Pembentukan Konstitusi atau
UUD 1945” ini yaitu diharapkan agar pemerintah dalam membuat ketentuan mengenai
susunan kelambagaan dan pelaksanaan Lembaga Perwakilan, lebih tepatnya mengenai
pengaturan hukumnya yang nampaknya masih dirasakan bingung menamakan sistem
perwakilan yang berlaku agar konstitusi yang dikaitkan dengan negara hukum
selain maksud untuk membatasi dan mengatur kekuasaan negara yang sedang
berlangsung perlu juga mementingkan kesejahteraan rakyat banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly,
Asshidiqie. 2005. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.
Konstitusi Press. Jakarta.
A.G.,
Pringgodigdo. 1958. “Sejarah Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia”. Majalah Hukum dan Masyarakat. Bandung
Dahlan
Thaib, dkk,. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Soemantri,
Sri. 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang-Tubuh UUD
1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945), Ed. II, Cet. 1, Alumni.
Bandung.
Vanzhart.
2012. Sejarah Lahir dan Perkembangan Konstitusi (UUD 1945). http://vahzhart.blogspot.com/. Diakses pada hari Rabu tanggal 28 November 2012 pukul
18.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar