MAKALAH
PERKEMBANGAN MASYARAKAT
ISLAM PADA MASA DINASTI AL-AYYUBIAH
Dibuat oleh
Ketua
Intan opia listi
Anggota
Hani rahmawati
Hikmatul aliyah
Ida farida
Dodi
Mujiatman
M ipnu sabil
MTS SI
PARAKANSALAK
Daftar Isi
1.
Daftar Isi...............................................................................................................
2.
Pendahuluan..........................................................................................................
3.
Pembahasan..........................................................................................................
3.1 Sejarah Munculnya Dinasti
Ayyubiyyah............................................................
3.2 Politik dan Pendidikan Islam Dinasti
Ayyubiyah................................................
3.3 Universitas Al-Azhar Pada
Masa Dinasti Ayyubiyah.........................................
3.4 Kemajuan-keamajuan
Pada Masa Dinasti Ayyubiyah.....................................
4. Penutup................................................................................................................
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................
4.2 Saran..............................................................................................................
4.3 Daftar
pustaka................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Dinasti Ayyubiyah (567 – 648 H / 1171 – 1250 M) berdiri di atas puing-puing
Dinasti Fatimiyah Syi’ah di Mesir. Di saat Mesir mengalami krisis di segala
bidang maka orang-orang Nasrani memproklamirkan perang Salib melawan Islam,
yang mana Mesir adalah salah satu Negara Islam yang diintai oleh Tentara
Salib.Shalahudin al-Ayyubi seorang panglima tentara Islam tidak menghendaki
Mesir jatuh ke tangan tentara Salib, maka dengan sigapnya Shalahudin mengadakan
serangan ke Mesir untuk segera mengambil alih Mesir dari kekuasaan Fatimiyah
yang jelas tidak akan mampu mempertahankan diri dari serangan Tentara Salib.
Menyadari kelemahannya dinasti fatimiyah tidak banyak memberikan perlawanan,
mereka lebih rela kekuasaannya diserahkan kepada shalahudin dari pada
diperbudak tentara salib yang kafir, maka sejak saat itu selesailah kekuasaan
dinasti fatimiyah di Mesir, berpindah tangan ke Shalahudin al-Ayyubi.Shalahudin
panglima perang Muslim yang berhasil merebut Kota Yerusalem pada Perang Salib
itu tak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi juga peradaban Barat. Sosoknya
begitu memesona. Ia adalah pemimpin yang dihormati kawan dan dikagumi lawan.
Pada akhir 1169 M, Shalahudin mendirikan sebuah kerajaan Islam bernama
Ayyubiyah. Di era keemasannya, dinasti ini menguasai wilayah Mesir, Damaskus,
Aleppo, Diyarbakr, serta Yaman. Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki
perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang dikuasai Ayyubiyah menjadi
pusat intelektual. Di puncak kejayaannya, beragam jenis sekolah dibangun di
seluruh wilayah kekuasaan dinasti itu. Madrasah-madrasah itu dibangun tak hanya
sekadar untuk membangkitkan dunia pendidikan, tetapi juga memopulerkan
pengetahuan tentang mazhab Sunni. Di masa kepemimpinan Shalahudin, di Kota
Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100 tempat pemandian, dan sejumlah tempat
berkumpulnya para sufi. Bangunan madrasah juga didirikan di berbagai kota,
seperti Aleppo, Yerusalem, Kairo, Alexandria, dan di berbagai kota lainnya di
Hijaz. Sejumlah sekolah juga dibangun oleh para penerus tahta kerajaan
Ayyubiyah. “Istri-istri dan anak-anak perempuan penguasa Ayyubiyah, komandan,
dan orang-orang terkemuka di dinasti itu mendirikan dan membiayai
lembaga-lembaga pendidikan’’ . Meski Dinasti Ayyubiyah menganut mazhab fikih
Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan keempat mazhab fikih.
Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan sama sekali
madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hambali dan Maliki. Setelah Ayyubiyah
berkuasa di kawasan itu, para ahli sejarah menemukan 40 madrasah Syafi’i, 34
Hanafi, 10 Hambali, dan tiga Maliki.Dibalik kemajuan sebuah peradaban, terdapat
juga kemunduran pada sebuah kekuasaan, tidak terkecuali pada Dinasti Ayyubiyah
terutama dalam bidang politik dan pendidikannya.
Untuk melihat bagaimana kemajuan dan kemunduran Dinasti Ayyubiyah dilihat dari
politik dan pendidikan pada masa itu, maka pemakalah dalam hal ini akan
membatasi pembahasan mengenai Dinasti Ayyubiyah; hubungan politik dengan
pendidikan Islam dengan sub pembahasan yakni, sejarah dinasti ayyubiyah,
politik dan pendidikan Islam dinasti ayyubiyah, universitas al-Azhar pada masa
dinasti ayyubiyah, serta kemajuan-kemajuan pada masa dinasti ayyubiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Dinasti Ayyubiyyah
Pendiri
dinasti ini adalah Shalahudin Al-Ayyubi, lahir di takriet 532 H/1137 M
meninggal 589 H/ 1193 M dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama saladin
pahlawan perang salib dari keluarga ayyubiyah suku kurdi.
Dinasti Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai
akhir abad ke-15 M. menggantikan dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah
Salahuddin. Ia menghapuskan sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’i dan
mengembalikannya ke faham sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin
bersinar setelah sukses melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan
Turki, Kurdi dan Arab. Kota Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan
Islam dari tangan tentara Salib yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan
politik terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah
merosot. Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih
kekuasaan Fathimiyah[1]. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang
Salib tersebut membangun Dinasti Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di
Baghdad yang semakin lemah.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan
peperangan. Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk
menghapus sebuah pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.Perang
yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama.Selain
itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi
terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:
- Ketika ia menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
- Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi
pamannya Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk
membantu Bani Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh
Dirgam. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga
ia dan pamannya mendapat hadiah dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak
tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar berhasil menduduki kembali
jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga
tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali bergabung pamannya ke
Mesir.Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar berafiliasi / bekerjasama
dengan Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah
membantu Dirgam. Maka terjadilah perang yang sangat sengit antara pasukan
Shalahuddin dan tim Syawar yang dibantu oleh Amauri.
Dalam peperangan tersebut pasukan
Shalahuddin berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepung dari darat dan
laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh Amauri.
Akhirnya perang ini berakhir dengan
perjanjian damai pada bulah Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
- Pertukaran tawanan perang
- Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
- Amauri harus kembali ke Yerusalem
- Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang
dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai yang disepakati sebelumnya
yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu
saja sangat membahayakan kondisi umat islam di Mesir, karena:
- Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
- Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin
Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan
pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang
beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia.Khalifal
al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri
menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai
Perdana Menteri diketahui gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang
bijaksana. [2]
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun
1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran
keagamaan dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai
berkuasa sampai sekitar 75 tahun lamanya.
Salahudin
sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat
menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga
tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin
Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah
ditandai dengan pengakuan Shalahudin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan
penggantian Qadi Syi’ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Shalahudin
mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika
Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan .
Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa
setempat sebagai pemimpinnya.
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Dalam peperangan ini,
pasukan Perancis dapat dikalahkan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga
bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara
azan menggema kembali di Mesjid Yerussalem.
Jatunya pusat kerajaan
Haatin ini memberi peluang bagi Shalahudin al-Ayyubi untuk menaklukkan
kota-kota lainya di Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan
pada taun 1189 M, sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre
an beberapa kota kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
Setelah perang
besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua pasukan
hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian
damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian itu
disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah
pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan
terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini
benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Shalahudin al-Ayyubi
hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di
Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.
Dalam catatan sejarah, Shalahudin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang
yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat
memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi keagamaan, membangun
bendungan, menggali terusan, serta mendirikan sekolah dan masjid. Salah satu
karya yang sangat monumetal adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah benteng yang
dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya adalah
orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani.
Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian
juga dikenal sebagai penulis biografinya. Kekayaan Negara tidak digunakan untuk
kepentingan dirinya, tetapi dibagi-bagikan terutama kepada para prajurit dan
pensiunan, selain untuk membiayiai pembangunan. Dia hanya mewariskan empat
puluh tujuh dirham dan sebatang emas.
Setelah Shalahudin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terbentang dari
sungai Tigris hingga sunagi Nil itu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya.
Al- Malik al-Afdhal Ali, putera Shalahudin memperoleh kekuasaan untuk
memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik al-Jahir berkuasa
di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Shalahudin, memperoleh kekuasaan di
al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil berhasil
menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk
Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-‘Adil yeng bergelar Saifuddin itu
mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan
kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman.
Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir
dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
Kemudian al-Kamil Muhammad, putera al’Adil, yang menguasai Mesir ( 615 – 635 H/
1218 -1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk
melindungi daerah kekuasaannya dari rongrongan tentara Salib yang telah
menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa pemerintahan
ayahnya. Tentara Salib memang nampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan
bantuan Italia. Penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri
itulah mereka akan dapat menguasai jalur perdagangan Samudera Hindia melalui
Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (November 1219 hingga Agustus 1221 M)
terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil
dapat memaksa tentara Salib untuk meningalkan Dimyati.
Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang politik dan militer,
al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang memberikan perhatian
terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya yang cukup menonjol
ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan pertanian serta
menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga dapat menjaga
kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan
sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Raja
Louis IX ari Perancis.Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil
dalam keadaan pasang, sehingga mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat
dikalahkan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa
bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah
Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan
makanan sebagai bahan tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik
al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota,
Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia (Suriah)
untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghindari kevakuman kekuasaan,
sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi,
ketika Turansyah akan mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para
Mamluk, hamba sahaya yang dimiliki tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum
genap satu tahun turansyah berkuasa, ia kemudian dibunuh oleh para mamluk
tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur
menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan,
seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyatakan
dirinya sebagai sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa
kedaulatan atau kekuasaan yang riel. Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada
di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk
(1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M,
berakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke
pemerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517 M).
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang
penguasa, yakni sebagai berikut:
- Shalahuddin Yusuf Al-Ayyubi(1171-1193 M)
- Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
- Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
- Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
- Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
- Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
- Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
- Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
- Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
B. Politik dan Pendidikan Islam Dinasti Ayyubiyah
Keberhasilan
Shalahudin dalam perang Salib , membuat para tentara mengakuinya sebagai
pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir
tahun 1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan
oleh Dinasti Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah
menjadi Sunni.
Penaklukan atas Mesir oleh Shalahudin pada 1171 M, membuka jalan politik bagi
pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap
bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya Shalahudin memberlakukan
madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya untuk
menjadi penguasa otonom di Mesir.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Tujuan pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama
dan membentuk kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat, juga
untuk mencetak tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya
masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
C.
Universitas Al-Azhar Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Shalahudin
al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya
sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini
lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Selain itu, masih banyak lagi perkembangan-perkembangan yang diciptakan pada
masa Dinasti Ayyubiyah ini dalam berbagai bidang, seperti dapat kita baca pada
pembahasan di bawah ini.
D. Kemajuan-keamajuan Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana
dinasti-dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang
gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup
berbagai bidang, diantaranya adalah :
1.
Bidang Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa
Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini
ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat
pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar
al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok
hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam
bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di
Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.
Shalahuddin juga membangun benteng setelah menyadari bahwa ancaman pasukan
salib akan terus menghantui, maka tugas utama dia adalah mengamankan Kairo dan
sekitarnya (Fustat). Penasihat militernya saat itu mengatakan bahwa Kairo dan
Fustat masing-masing membutuhkan benteng pertahanan, tapi Shalahuddin memiliki
ide brilian, bahwa dia akan membangun benteng strategis yang melindungi secara
total kotanya. Selanjutnya, dia memerintahkan untuk membangun benteng kokoh dan
besar diatas bukit Muqattam yang melindungi dua kota sekaligus Kairo dan
Fustat. Proyek besar Citadel dimulai pada 1176 M dibawah Amir Bahauddin
Qaraqush. Shalahuddin juga membangun dinding yang memagari Kairo sebagai kota
residen bani Fatimiyyah, sekaligus juga memagari benteng kebesarannya serta
Qata’i-al Fustat yang saat itu merupakan pusat ekonomi Kairo terbesar.
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti
konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang
Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang
kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat
pikiran.
3.
Bidang Industri
Kemajuan
di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih
canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan
pabrik gelas.
4. Bidang Perdagangan
4. Bidang Perdagangan
Bidang
ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di
Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri.
Hal ini
menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia
ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter
of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5.
Bidang Militer
Selain
memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping
itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang
industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi. [3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita
mengambil kesimpulan, bahwasanya dinasti Ayyubiyah adalah dinasti yang berdiri
di atas puing-puing dinasti fatimiayah yang tidak mampu menghalau kekuatan
serangan tentara salib pada masa itu. Dinasti Ayyubiyah berkembang menjadi
dinasti yang besar dan tangguh di bawah kepemimpinan Shalahudin al-Ayyubi.
Shalahudin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan Shalahudin al-Ayyubi juga mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada nilai-nilai ajaran Sunni.
Sasaran utama dalam hal ini mesjid sekaligus madrasah yang terkenal yakni al-Azhar. Al-Azhar pada saat itu, selain dijadikan tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah setelahnya pun ada yang mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat.Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer.
Berakhirnya dinasti Ayyubiyah setelah terbunuhnya khalifah terakhir karena adanya konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.
Shalahudin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan Shalahudin al-Ayyubi juga mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada nilai-nilai ajaran Sunni.
Sasaran utama dalam hal ini mesjid sekaligus madrasah yang terkenal yakni al-Azhar. Al-Azhar pada saat itu, selain dijadikan tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah setelahnya pun ada yang mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat.Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer.
Berakhirnya dinasti Ayyubiyah setelah terbunuhnya khalifah terakhir karena adanya konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.
___ Wallaahusubhanahuwata’ala A’lam__
- Saran
Bahwa apa yang ada dalam makalah ini
bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami ambil dari berbagai referensi
yang berkaitan dengan judul yang ditigaskan kepada kami. Untuk itu marilah
kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Adapun yang menjadi saran kami agar isi makalah ini lebih ditingkatkan lagi,
dengan mencari sumber-sumber lain, sehingga kita bisa semakin mengerti dan
memahami tentang sejarah peradaban islam mulai dari zaman Rosulullah sampai
saat sekarang ini.
Daftar Pustaka
• Lapidus, Ira. M., terj. 1999. Sejarah
Sosial Umat Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
• Mukti, Abd, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir. Bandung : Cita Pustaka Media Perintis .
• Tamim Ansary, 2010. A History of The World through Islamic Eyes, diterjemahkan oleh Destiny Discruted (United States: Public Affairs, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Penerbit Zaman
• Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1981. Sejarah dan Kebudayaan Islam. IAIN Alaudin Ujung Pandang.
• Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakrta : PT. Raja Grafindo Persada.
• Mukti, Abd, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir. Bandung : Cita Pustaka Media Perintis .
• Tamim Ansary, 2010. A History of The World through Islamic Eyes, diterjemahkan oleh Destiny Discruted (United States: Public Affairs, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Penerbit Zaman
• Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1981. Sejarah dan Kebudayaan Islam. IAIN Alaudin Ujung Pandang.
• Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakrta : PT. Raja Grafindo Persada.
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Harapan saya semoga
makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar